Merawat Baterai Kamera

Baterai adalah salah satu dari sumber energi dan sangat penting bagi penggunaan kamera digital. Produsen kamera digital mengunakan

berbagai macam jenis baterai yang berpengaruh terhadap harga, ukuran serta kemampuan kamera tersebut. Untuk jenis yang paling banyak digunakan saat ini, adalah baterai type Lithium dan type AA. Untuk type AA biasanya digunakan baterai Alkaline. Berbeda dengan baterai AA biasa, jenis Alkaline mempunyai kapasitas lebih besar yang pada kamera digital digunakan untuk LCD dan Flash.

 

Namun, penggunaan baterai Alkaline sebenarnya lebih disarankan untuk diganti dengan jenis NiMH yang mempunyai kapasitas lebih besar lagi dibanding Alkaline dan mempunyai kemampuan untuk di isi ulang. Sedangkan jenis baterai Lithium lebih menguntungkan dari segi berat dan ukuran, karena kamera yang menggunakan baterai type Lihtium biasanya didesign lebih compact dan lebih ringan dibanding kamera dengan baterai type AA.

 

Jika diperhatikan pada baterai Alkaline kemungkinan tidak terlihat berapa besar kapasitas yang tertulis pada baterai, sedangkan pada NiMH terlihat jelas berapa besar kapasitas yang dapat disimpan oleh baterai tersebut. Ketika baterai memberaikan power kepada peralatan elektronik yang memerlukan energi yang besar seperti kamera digital, peralatan komputer, portable music player sebuah baterai Alkaline hanya akan memberikan sebagian dari kapasitasnya. Sedangkan pada baterai NiMH atau NiCd, baterai tersebut memberikan lebih banyak kapasitasnya dan besarnya mendekati kapasitas maksimum pada peralatan elektronik yang rakus energi. Itu berarti pada kamera digital, sebuah NiMH dengan kapasitas 1800 mAh dapat memberikan lebih banyak foto dibanding sebuah baterai Alkaline yang mempunyai kapasitas 2800 mAh.

Baterai recharger NiCD, NiMH dan Lithioum (Li-ion)

Tipe baterai isi ulang dibagi dalam tiga kategori umum: nickel cadmium (NiCd), nickel metal-hydride (NiMH), dan lithium-ion (Li-ion). Ada juga tipe lithium polymer (Li-poly) yang supertipis, namun mahal dan jarang ada di pasaran.

Baterai NiCd merupakan jenis tertua, paling tahan banting, namun berat dan volumenya paling besar. Baterai jenis ini sudah tidak lagi banyak digunakan pada kamera karena dianggap tidak praktis. Baterai NiCad sangat rentan efek memori. Maksudnya, baterai hanya mengisi ke tingkat dimana baterai terakhir di-discharge, akibat proses akumulasi gas yang terperangkap dalam plat sel baterai. Jika baterai di-discharge hingga 30 persen dan di recharge, maka baterai hanya akan mengisi energi yang terpakai tadi (30 persen) yang dilanjutkan dengan penyusutan volume “gas” yang terperangkap. Cara terbaik untuk menghilangkan efek memori dan membuang sisa gas terperangkap adalah dengan melakukan “burping”, atau mengkondisikannya. Maksudnya, menghabiskan seluruh isi baterai pada kamera hingga benar-benar kamerea mati dan melakukan re-charging.

NiMH merupakan pengembangan dari NiCd, dibanding NiCd dengan volume sama, kapasitasnya jauh lebih besar. Namun, seperti halnya NiCd, NiMH juga rawan terhadap memory effect meski tidak sebesar NiCd. Beberapa produsen baterai bahkan menyatakan NiMH produknya bebas memory effect. Fenomena ini muncul saat baterai yang belum habis dipakai sudah di-charge ulang. Bila dilakukan berkali-kali baterai dapat kehilangan kapasitasnya dan hanya mampu menampung sedikit daya saja sebelum dengan cepat habis. Memory effect dapat dihilangkan dengan mengosongkan baterai sampai habis sebelum mengisi ulang.

Li-ion (Lithium) merupakan teknologi terbaru dalam baterai kering isi ulang, lebih ringan dan lebih besar kapasitasnya dari NiMH. Ia juga tidak akan mengalami memory effect hingga Anda bebas mengisi baterai jenis ini kapan saja dan di mana saja. Namun, ia juga paling rentan dengan berbagai macam masalah.

Kata mAh merupakan satuan kapasitas baterai isi ulang. 500 mAh berarti bila baterai dibebani 125 mA (mili amper), ia dapat bertahan 4 jam. Atau 1 jam pada 500mA. Makin besar nilai mAh sebuah baterai berarti ia akan dapat dipakai lebih lama sebelum perlu di-charge ulang. Angka 1.2 V menyatakan besarnya voltase baterai. Pastikan voltase baterai ini sama dengan spesifikasi kamera Anda.

Untuk battery baru, disarankan untuk melakukan proses charging (isi) dan discharging (membuang) setrum 2 sampai 5 kali hingga battery mencapai kapasitas maksimalnya. Cara melakukan discharging dengan menggunakan baterai tersebut sampai tidak bisa digunakan lagi dikamera. Pada alat charger tertentu, disediakan fasilitas untuk discharge baterai. Biasanya fasilitas yang disediakan pada alat ini cukup aman, karena proses pengosongan hanya terjadi sampai batas yang aman.

Setiap 10-15 kali siklus isi ulang baterai NiMH, kosongkanlah baterai hingga habis sama sekali sebelum mengisi ulang. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan “bibit-bibit” memory effect yang mungkin timbul.

Jangan sekali-kali mengosongkan baterai dengan bola lampu dan kabel hingga lampu mati. Ini akan dapat merusak sel baterai yang paling lemah (reversal effect), dan pada gilirannya merusak semua sel. Sisakan setidaknya 1V per sel baterai, pantaulah terus-menerus karena voltase baterai akan turun dengan tiba-tiba. Bila Anda tidak memiliki alat untuk itu, lebih baik jangan lakukan. Mengosongkan dengan kamera adalah cara terbaik, karena ambang batas aman pasti tidak kelebihan.

Beberapa produsen baterai NiMH menyatakan bahwa baterainya bisa di recharge lebih dari 500 kali, namun

bila baterai NiMH telah mencapai 400 kali siklus isi ulang, perlu dipersiapkan untuk penggantian baterai tersebut, karena walaupun masih bisa digunakan, biasanya kapasitasnya sudah menurun dan berarti masa pakai sebelum diisi ulang sudah berkurang.. Baterai Li-ion dapat rusak dengan mendadak jika rangkaian di dalamnya rusak.

Untuk membuang baterai yang sudah tidak digunakan, sebaiknya berhati-hati karena kandungan kadmiumnya bisa mencemari tanah.

Self Discharge

 

Salah satu yang perlu diperhatikan pada penggunaan baterai charge NiCad dan NiMH adalah ‘self discharge’, yaitu berkurangnya kapasitas yang terdapat pada battery walaupun tidak digunakan. Jumlah/persentasi self discharge pada masing-masing baterai berbeda-beda, tapi bisa diperkirakan sekitar beberapa persen (1 sampai 3%) perhari dari kapasitas maksimumnya dan pada suhu 70 derajat Fahrenheit.

Penempatan baterai NiMH pada temperator yang lebih rendah akan sedikit membantu mengurangi efek self discharge. Ada yang menyebutkan apabila baterai NiMH dibekukan (dingin) dalam 1 bulan sisa kapasitas baterai masih ada 90% sejak terakhir di recharge. Tapi sebelum digunakan, baterai NiMH yang dibekukan tersebut harus dikembalikan dulu pada suhu ruangan yang normal. Jadi setelah kita men-charge baterai NiMH, sebaiknya disimpan pada suhu yang dingin untuk mengurangi efek self dischargenya.

Disarankan untuk me-recharge lagi baterai yang sudah disimpan dalam jangka waktu yang lama sebelum di gunakan.

Berbeda dengan baterai Alkaline, jika baterai Alkaline disimpan pada suhu ruang normal, efek self discharge yang terjadi kurang dari 2% per tahun. Sehingga walaupun disimpan dalam jangka waktu yang lama, kapasitas baterai Alkaline nyaris tidak akan berkurang dari semula. Sebagai catatan, jika baterai Alkaline disimpan pada suhu 85 derajat Fahrenheit, efek self discharge hanya sekitar 5% pertahun, tapi pada 100 derajat Fahrenheit, efek self discharge baterai Alkalin sekitar 25% pertahun. Jadi apabila kita tinggal pada lokasi yang cuacanya sangat panas, disarankan untuk menyimpan baterai Alkalin pada ruang pendingin untuk menghindari efek selft discharge, walaupun persentasinya sangat kecil sekali dibandingkan efek self discharge pada baterai NiMH dalam kondisi suhu yang sama.

Baterai Lithium juga hampir sama dengan baterai Alkaline, efek self dischargenya sangat kecil dibandingkan dengan baterai NiMH, sehingga jika kita charge penuh dan disimpan pada suhu ruang normal pada waktu yang lama, kapasitanya juga tidak akan banyak berkurang. Tapi sampai saat ini untuk ketiga jenis baterai tersebut (Alkaline, NiMH, dan Lithium) baterai NiMH harganya memang lebih murah dibanding yang lainnya. Jadi dipertimbangkan saja menggunakan baterai jenis yang mana dan disesuaikan dengan peralatan yang akan digunakan.

Charging Time

Ada berbagai macam jenis alat charger yang digunakan untuk mengisi ulang baterai NiMH atau NiCd yang kapasitasnya habis. Alat-alat tersebut mempunyai berbagai macam sensor untuk membatasi kelebihan kapasitas (overcharge) yang dapat mengakibatkan sel baterai tersebut rusak dan kemampuan penyimpanannya berkurang. Sensor dalam bentuk timer, biasanya ini sudah disesuaikan satu paket dengan jenis baterainya, sehingga dari awal charging sampai waktu tertentu, alat charger ini dapat menghentikan pengisian sehingga menghindari overcharge. Ada juga dalam bentuk microprocessor yang biasanya disebut oleh produsen sebagai smart rapid charger, yaitu dapat menghitung dengan tepat berapa sisa kapasitas baterai sebelum alat tersebut berhenti men-charge baterai.

Kadang alat ini juga dilengkapi dengan detektor suhu baterai yang berfungsi juga untuk membantu mengendalikan charging baterai. Trickle charge, adalah kemampuan alat charger untuk memberikan ampere secara sedikit-sedikit ke baterai NiMH akibat dari efek self discharge (keterangan tentang self discharger diatas). Kemampuan ini berguna untuk menjaga agar baterai selalu dalam kondisi penuh dan siap pakai, walaupun dibiarkan dalam jangka waktu yang lama di alat charger.

Terdapat juga alat charge yang manual, untuk alat ini sebenarnya hampir sama dengan alat charge yang menggunakan sensor, tapi bedanya perlu diperhitungkan dengan tepat sehingga tidak terjadi overcharge, karena alat ini akan men-charge terus selama belum dimatikan, jadi tidak ada indikator baterai sudah penuh. Namun apabila charging timenya tepat dan tidak melebihi hitungan maksimum, maka penggunaan alat ini cukup aman, tapi biasanya arus yang diberikan cukup kecil (untuk menghindari overcharge) sehingga diperlukan waktu lama agar baterai bisa terisi penuh.

Untuk charging Time pada masing-masing jenis alat charge sebenarnya mempunyai perhitungan dasar yang dapat dihitung dengan rumus ideal sebagai berikut :

mahB = Kapasitas Maksimum Baterai
mAhC = Bersarnya Amper perjam yang diberikan charger
th = Total Waktu dalam Jam
th = mAhB / mAhC

Jadi, jika baterai 1800 mAh dan Ampre Chargernya 100 mAh, berarti :

1800 / 100 = 18 jam

Waktu yang diperlukan untuk chargingnya pada kondisi ideal adalah 18 jam.
Penting !

Hindari untuk membawa baterai AA NiMH / NiCd dan disimpan pada kantong baju atau celana (atau dibawa dengan sembarangan), pada keadaan tertentu baterai tersebut dapat berhubungan singkat satu dengan yang lain dan itu dapat menyebabkan panas dan bahkan menyulut api didalam kantong.

Terima kasih atas kunjungannya, buka artikel lain seperti yang anda butuhkan . .

 

Posted in Uncategorized | 2 Comments

Focus, Aperture, Speed Shutter & ISO

Teknik-teknik dasar pemotretan adalah suatu hal yang harus dikuasai agar dapat menghasilkan foto yang baik. Kriteria foto yang baik sebenarnya berbeda-beda bagi setiap orang, namun ada sebuah kesamaan pendapat yang dapat dijadikan acuan. Foto yang baik memiliki ketajaman gambar (fokus) dan pencahayaan (eksposure) yang tepat.

A. Fokus
Focusing ialah kegiatan mengatur ketajaman objek foto, dilakukan dengan memutar ring fokus pada lensa sehingga terlihat pada jendela bidik objek yang semula kurang jelas menjadi jelas (fokus). Foto dikatakan fokus bila objek terlihat tajam/jelas dan memiliki garis-garis yang tegas (tidak kabur). Pada ring fokus, terdapat angka-angka yang menunjukkan jarak (dalam meter atau feet) objek dengan lensa.

B. Eksposure
Hal paling penting yang harus diperhatikan dalam melakukan pemotretan adalah unsur pencahayaan. Pencahayaan adalah proses dicahayainya film yang ada dikamera. Dalam hal ini, cahaya yang diterima objek harus cukup sehingga dapat terekam dalam film. Proses pencahayaan (exposure) menyangkut perpaduan beberapa hal, yaitu besarnya bukaan diafragma, kecepatan rana dan kepekaan film (ISO). Ketiga hal tersebut menentukan keberhasilan fotografer dalam mendapatkan film yang tercahayai normal, yaitu cahaya yang masuk ke film sesuai dengan yang dibutuhkan objek, tidak kelebihan cahaya (over exposed) atau kekurangan cahaya (under exposed).

C. Bukaan Diafragma (apperture)
Diafragma berfungsi sebagai jendela pada lensa yang mengendalikan sedikit atau banyaknya cahaya melewati lensa. Ukuran besar bukaan diafragma dilambangkan dengan f/angka. Angka-angka ini tertera pada lensa : 1,4 ; 2 ; 2,8 ; 4 ; 5,6 ; 8 ; 11 ; 16 ; 22 ; dst. Penulisan diafragma ialah f/1,4 atau f/22. Angka-angka tersebut menunjukkan besar kecilnya bukaan diafragma pada lensa. Bukaan diafragma digunakan untuk menentukan intensitas cahaya yang masuk.

Hubungan antara angka dengan bukaan diafragma ialah berbanding terbalik.
“Semakin besar f/angka, semakin kecil bukaan diafragma, sehingga cahaya yang masuk semakin sedikit. Sebaliknya, semakin kecil f/angka semakin lebar bukaan diafragmanya sehingga cahaya yang masuk semakin banyak.”

Penjelasan sederhananya seperti ini, bukaan besar justru malah akan menghasilkan DOF / Ruang ketajaman yang kecil, misalkan diterapkan angka 1,4 maka akan menghasilkan ruang tajam yang kecil, dalam arti focus yang ditangkap oleh kamera mungkin hanya didapat pada objek itu sendiri, sementara foreground maupun background akan miss focus. Oleh karena itu, bukaan besar cocok untuk objek dekat dan makro, namun terkadang fotografer memanfaatkan bukaan besar untuk menghasilkan bokeh / bg-blur yang membuat sebuah foto menarik. Bukaan kecil justru akan menghasilkan DOF / Ruang ketajaman yang besar, misalkan diterapkan angka 22, maka akan menghasilkan ruang tajam yang besar. Dalam arti focus akan didapat pada foreground, background sekaligus objek. Nah, bukaan kecil sangat cocok untuk mengambil foto-foto landscape.

D. Kecepatan Rana (shutter speed)
Kecepatan rana ialah cepat atau lambatnya rana bekerja membuka lalu menutup kembali. Shutter speed mengendalikan lama cahaya mengenai film. Cara kerja rana seperti jendela. Rana berada di depan bidang film dan selalu tertutup jika shutter release tidak ditekan, untuk melindungi bidang film dari cahaya. Saat shutter release ditekan, maka rana aka membuka dan menutup kembali sehingga cahaya dapat masuk dan menyinari film.
Ukuran kecepatan rana dihitung dalam satuan per detik, yaitu: 1 ; 2 ; 4 ; 8 ; 15 ; 30 ; 60 ; 125 ; 250 ; 500 ; 1000 ; 2000 ; dan B. .Angka 1 berarti rana membuka dengan kecepatan 1/1 detik. Angka 2000 berarti rana membuka dengan kecepatan 1/2000 detik, dst. B (Bulb) berarti kecepatan tanpa batas waktu (rana membuka selama shutter release ditekan)

Hubungan antara angka dengan kecepatan rana membuka menutup ialah berbanding lurus. “Semakin besar angkanya berarti semakin cepat rana membuka dan menutup, maka semakin sedikit cahaya yang masuk. Semakin kecil angkanya, berarti semakin lambat rana membuka dan menutup, maka semakin banyak cahaya yang masuk”



E. Kepekaan Film (ISO)

Setting ISO pada kamera Anda adalah sesuatu yang telah dibawa dari film. Ingat kembali pada ‘hari tua’ ketika Anda gunakan untuk pergi dan membeli gulungan film Anda dan Anda akan membeli film peringkat 100, 200 atau 400, bahkan mungkin 800 atau 1600? Nah jumlah yang mengacu pada kepekaan film terhadap cahaya. Semakin tinggi angka, semakin sensitif terhadap cahaya film ini. Bit ISO adalah dari standar untuk sensitivitas film, dan nomor mengacu Peringkat itu.
Makin kecil satuan film (semakin rendah ISO), maka film kurang peka cahaya sehingga makin banyak cahaya yang dibutuhkan untuk menyinari film tersebut, sebaliknya semakin tinggi ISO maka film semakin peka cahaya sehingga makin sedikit cahaya yang dibutuhkan untuk menyinari film tersebut. Misal, ASA 100 lebih banyak membutuhkan cahaya daripada ASA 400.

Biasanya, nomor ISO mulai 100-200 (Base ISO) dan kenaikan nilai dalam perkembangan geometris (kekuatan dua). Jadi, urutan ISO: 100, 200, 400, 800, 1600, 3200, 6400 dan lain-lain Yang penting dipahami adalah bahwa setiap langkah antara jumlah efektif menggandakan sensitivitas sensor. Jadi, ISO 200 adalah dua kali lebih sensitif daripada ISO 100, sedangkan ISO 400 adalah dua kali lebih sensitif daripada ISO 200. Hal ini membuat ISO 400 empat kali lebih sensitif terhadap cahaya dari ISO 100, ISO 1600 dan enam belas kali lebih sensitif terhadap cahaya dari ISO 100, seterusnya dan sebagainya.

 

 

 

 

 

Source – Web

Posted in Tips n Trick | Leave a comment

Apa itu Fotografi Jurnalistik?

Fotografi jurnalistik jelas berbeda dengan bidang fotografi lainnya.  Foto jurnalistik adalah bagian dari dunia jurnalistik yang menggunakan bahasa visual untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dan tetap terikat kode etik jurnalistik. Foto jurnalistik bukan sekadar jeprat-jepret semata. Ada etika yang selalu dijunjung tinggi, ada pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan batasan yang tidak boleh dilanggar, dan ada momentum yang harus ditampilkan dalam sebuah frame. Hal terpenting dari fotografi jurnalistik adalah nilai-nilai kejujuran yang selalu didasarkan pada fakta obyektif semata.

 

Berorasi – Orator sedang menyampaikan pesan sekaligus mengajak masyarakat untuk menahan diri dan menjaga perdamaian di Yogyakarta. Aksi ini merupakan aksi gabungan beberapa elemen masyarakat jogja yang ikut menentang kekerasan yang marak terjadi beberapa waktu lalu

Para pewartanya harus selalu berada di garis depan. Mereka pun selalu siaga di garis belakang dalam mewartakan sebuah berita kepada masyarakat luas. Pewarta foto juga dituntut sigap dalam menangkap setiap “momentum” dari sebuah peristiwa, membingkainya dengan dalam sebuah gambar yang berbeda dari apa yang dilihat oleh khalayak awam. Pun yang terpenting, mereka harus mengerti dan paham atas peristiwa yang sedang diabadikannya.

Dasar kelahiran pertumbuhan jurnalistik foto, menurut Soelarko ditentukan oleh tiga faktor:
1. Rasa ingin tahu manusia, yang merupakan naluri dasar, yang menjadi wahana kemajuan.
2. Pertumbuhan media massa sebagai media audio visual, yang memuat tulisan (atau uraian mulut) dan gambar (termasuk gambar yang hidup).
3. Kemajuan teknologi, yang memungkinkan terciptanya kemajuan fotografi dengan pesat (termasuk perfilm-an dan video untuk pemberitaan)

Dalam dunia jurnalistik, foto merupakan kebutuhan yang vital. Sebab foto merupakan salah satu daya pemikat bagi para pembacanya. Selain itu, foto merupakan pelengkap dari berita tulis. Penggabungan keduanya, kata-kata dan gambar, selain menjadi lebih teliti dan sesuai dengan kenyataan dari sebuah peristiwa, juga seolah mengikutsertakan pembaca sebagai saksi dari peristiwa tersebut.

Esensi dari foto jurnalistik adalah suatu foto atau gambar yang dapat bercerita atau memaparkan kejadian apa yang terjadi dalam foto tersebut.

Kelebihan dari sebuah foto sebagai medium komunikasi visual menjadikan lebih mudah dipahami dari pada tulisan yang membutuhkan tenaga dan pikiran.

Henri Cartier-Bersson, pendiri agen foto terkemuka di dunia Magnum

“foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkap sebuah cerita”

Oscar Motuloh, fotografer dan supervisor biro foto Antara
“… Seorang jurnalis foto tidak sekedar menampilkan kekerasan dan darah tetapi juga merekam peristiwa-peristiwa di sekitar kita yang menarik untuk diabadikan, foto jurnalistik dan foto dokumentasi mempunyai dasar yang sama, keduanya berdasarkan realitas kehidupan. Keduanya hanya dibatasi oleh suatu garis yang tipis yaitu dipublikasikan atau tidak. Foto jurnalistik dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu spot dan feature. Foto spot lebih bersifat berita, sedangkan foto feature memberi informasi yang tidak mudah basi, seperti essay foto yang banyak terdapat di majalah National Geographic dan keduanya berkembang pesat.”

Hendro Subroto, wartawan perang senior
“… foto jurnalistik harus bisa menceritakan kejadian sehingga tidak banyak komentar pun orang sudah tahu cerita fotonya foto itu dan yang terpenting dalam foto jurnalistik adalah moment”

Menurut Prof. Mitchel V. Charnley :
“News is timely report a fact or opinion of either interest or important or both to a considerable number of people”
(Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau opini yang penting atau menarik minat, atau keduanya bagi sejumlah besar orang.)

Fungsi jurnalistik :
• menyiarkan informasi
• mendidik
• menghibur
• mempengaruhi

Ciri-ciri surat kabar dan majalah :
• Universalitas
• Aktualitas
• Periodisitas
• Publisitas

Dalam foto jurnalistik terdapat kategori-kategori untuk membedakan suatu foto itu termasuk kedalam karya foto jurnalis atau bukan.

Ada 3 kategori yaitu :

  1. 1.       Foto Human Interest

Foto dalam hal ini biasanya menampilkan manusia dan lingkungannya, sesuai dengan namanya. Foto ini membawa pesan tentang sisi kemanusiaan yang dapat menggugah rasa kemanusiaan orang yang melihatnya.

  1. 2.       Foto Feature

Biasanya foto feature di gunakan untuk menerangkan atau memperkuat suatu tulisan baik di majalah, koran dan lain-lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa foto yang di pakai dalam foto feature juga merupakan foto Human Interest.tetapi perbedaan diantara foto-foto lain adalah pada hal yang ditampilkan. Biasanya yang ditampilkan bukan peristiwa utamanya, tetapi sisi lain dari berita atau peristiwa tersebut.

  1. Foto Berita (Spot News atau On The Spot)

Dalam membuat Spot News kita berpedoman atau memuat unsur  What, Why, Who, Where, When and How. Foto inimenampilkan gambar-gambar yang tanpa membaca keterangan atau resensi yang ada sudah dapat bercerita atatu bisa dikatakan berdiri sendiri.. semakin banyak informasi yang terekam dalam foto tersebut, semakin layak foto tersebut. Akan tetapi terbatas pada kehangatan berita yang disajikan. Waktu yang terbatas akan membuat foto berita ini cepat basi. Namun foto ini masih dapat digunakan walaupun hanya sebatas dokumen.

 

Memadamkan – Petugas Pemadam bersama warga berusaha memadamkan api agar tak menyebar ke rumah yang lain. Kebakaran yang menghanguskan 3 rumah ini terjadi tepat di belakang RS Dirgahayu dan sempat membuat penghuni rumah sakit di evakuasi

 

Teknik foto jurnalistik haruslah memiliki unsur :

  1. Ide, setiap wartawan foto tidak boleh hanya melihat peristiwa yang sedang atau telah terjadi, tetapi harus dapat belajar dari ide agar bisa mengetahui sesuatu yang akan terjadi;
  2. Latar belakang, wartawan foto dituntut untuk mengetahui story di balik ide dan jika ada harus diketahui kemana arah story tersebut;
  3. Sumber daya manusianya, wartawan foto harus memiliki kemampuan untuk menampilkan story dalam bentuk foto;
  4. Lokasi, untuk mencapai unsur believeability  dan orisinalitas karya, wartawan foto harus turun ke lapangan dan ikut serta  secara langsung di tempat kejadian;
  5. Assembly, foto yang telah didapat harus di-assembling (dikembangkan) sehingga menjadi rangkaian yang utuh;

Hal-hal yang harus dicantumkan dalam foto yang diajukan pada media cetak antara lain :

  1. Caption text, yaitu teks yang sedikit menjelaskan atau memberi gambaran tentang foto. Biasanya diletakkan di samping atau di bawah foto yang bersangkutan;
  2. Credit tittle, yaitu teks yang lazimnya berada pada bingkai foto dan menyebutkan:

¨       pengambil foto dan dari institusi mana berasal, misalnya foto : Bejo/DIANNS;

¨       sumber foto, jika foto tersebut diambil dari media lain, misalnya foto : Tempo;

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Source – Antarafoto.com & Imajiplus.wordpress.com *with added refference

Posted in Pengetahuan | 1 Comment

SEJARAH FOTOGRAFI DI INDONESIA

 

 

Perkembangan fotografi di Indonesia selalu berkaitan dan mengalir bersama momentum sosial-politik perjalanan bangsa ini, mulai dari momentum perubahan kebijakan politik kolonial, revolusi kemerdekaan, ledakan ekonomi di awal 1980-an, sampai Reformasi 1998.

Pada tahun 1841, seorang pegawai kesehatan Belanda bernama Juriaan Munich mendapat perintah dari Kementerian Kolonial untuk mendarat di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Munich diberi tugas mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam. Sejak saat itu, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai Pemerintah Belanda untuk menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan atau penempatan pasukan dan meriam, melainkan dengan cara menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administratif kolonial, pegawai pengadilan, opsir militer, dan misionaris.

Latar itulah yang menjelaskan mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) penguasaan alat ini secara eksklusif ada di tangan orang Eropa, sedikit orang Cina, dan Jepang. Berdasarkan survei dan hasil riset di studio foto-foto komersial di Hindia Belanda tentang foto-foto yang ada sejak tahun 1850 hingga 1940, dari 540 studio foto di 75 kota besar dan kecil, terdapat 315 nama orang Eropa, 186 orang Cina, 45 orang Jepang, dan hanya empat orang lokal Indonesia, salah satunya adalah Kasian Cephas.

Kasian Cephas adalah warga lokal asli. Ia dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1844 di Yogyakarta. Cephas sebenarnya adalah asli pribumi yang kemudian diangkat sebagai anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta philipina Kreeft, lalu disekolahkan ke Belanda. Cephas-lah yang pertama kali mengenalkan dunia fotografi ke Indonesia. Meski demikian, literatur-literatur sejarah Indonesia sangat jarang menyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875.

Dibutuhkan waktu hampir seratus tahun bagi bangsa ini untuk benar-benar mengenal dunia fotografi. Masuknya Jepang pada tahun 1942 telah menciptakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menyerap teknologi ini. Demi kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kantor berita mereka, Domei. Pada saat itulah muncul nama Mendur Bersaudara. Merekalah yang membentuk imaji baru tentang bangsa Indonesia.

Lewat fotografi, Mendur bersaudara berusaha menggiring mental bangsa ini menjadi bermental sama tinggi dan sederajat. Frans Mendur bersama kakaknya, Alex Mendur, juga menjadi icon bagi dunia fotografer nasional. Mereka kerap merekam peristiwa-peristiwa penting bagi negeri ini, salah satunya adalah mengabadikan detik-detik pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Inilah momentum ketika fotografi benar-benar “sampai” ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai merepresentasikan dirinya sendiri.

Kassian Cephas

Nama Kassian Cephas tidak banyak dikenal orang sampai foto-foto karyanya dipamerkan di kraton mulai 11 Juni 1999 yang lalu di Bale Bang, Kraton Yogyakarta. Bahkan mungkin para mahasiswa yang kebetulan pernah mempelajari fotografi di bangku kuliah kurang begitu familiar dengan namanya. Literaratur-literatur sejarah Indonesia pun tidak pernah menyebut-nyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional, atau menurut bahasa Gerrit Knaap (sejarawan Belanda yang menyusun buku “Cephas, Yogyakarta: photography in the Service of the Sultan” ) sebagai salah satu pionir modernitas. Namanya memang tidak seharum dan melekat di benak banyak orang seperti nama Wahidin Sudirohusodo atau KH. Dewantara yang sama-sama berasal dari Yogyakarta dan hidup satu jaman dengannya.
Apa yang menarik dari foto-foto karya Cephas? Dari foto-foto yang dipajang di Bale Bang dan di buku karya Knaap tampak bahwa Cephas memotret banyak hal: sultan dan keluarganya, bangunan-bangunan sekitar kraton, upacara garebeg di alun-alun, iring-iringan benda-benda untuk keperluan upacara, tari-tarian, pemandangan kota Yogya jaman itu saat jalan raya sepanjang Malioboro sampai depan Benteng Vredeberg masih sepi dan dipenuhi pohon-pohon besar di kiri-kanannya, sudut-sudut kota yang menurutnya menarik dan sebagainya.
Fotografi, tidak ada bedanya dulu dan sekarang, tetap dianggap sebagai kegiatan yang mahal. Banyak peralatan dan piranti yang harus dibeli, banyak biaya yang dibutuhkan. Maka itu orang yang menggeluti dunia fotografi tentulah bukan orang yang sembarangan. Pada jaman sekarang saja orang masih kerap memandang kagum kepada fotografer yang membawa seperangkat alat yang bermacam-macam bentuknya, lebih-lebih pada masa itu, masa menjelang ujung abad 19. Foto karya Cephas yang menggambarkan suasana rumah-rumah dan toko-toko di Jalan Ngabean (sekarang Jl. KH. Ahmad Dahlan) dengan bagus menunjukkan kekaguman masyarakat pribumi kepada fotografi. Bagian terbesar dari frame foto itu berisi rumah dan toko milik orang Belanda lengkap dengan tuan-tuan dan noni-noni Belanda yang duduk-duduk di teras rumah. Sementara orang-orang pribumi asli tampak kabur, berdiri berjubel di pojok kanan. Jalan depan rumah dan toko yang sedang dipotret tampak kosong, seakan sengaja dikosongkan untuk Cephas, si fotografer. Entah bagaimana perasaan mereka waktu itu. Mungkin kagum, heran, takjub, campur jadi satu.
Sebagai satu-satunya pribumi di masa itu yang sudah menguasai peralatan fotografi, tentulah Cephas sendiri orang yang sangat istimewa. Bayangkanlah seorang pribumi bernama Kassian Cephas di tahun menjelang ujung abad 19 menenteng peralatan kamera kemana-mana.

Satu pertanyaan yang mengganjal di kepala saya adalah kenapa foto-foto yang dibuat Cephas selalu indah? Foto-foto tari-tarian, upacara-upacara, model-model cantik, arsitektur rumah masa itu, semuanya adalah gambar suasana yang menyenangkan, enak dilihat dan tentu saja indah. Sebuah suasana yang agak bertolak belakang dengan kondisi Indonesia yang telah terjajah hampir 300 tahun. Tentu saja saja tak ada yang salah kalau seorang fotografer itu akan memotret pemandangan yang indah atau suasana menyedihkan yang kebetulan dilihatnya. Apa yang membuat Cephas mempunyai sudut pandang kamera tentang dunia yang selalu indah, itulah pertanyaannya.
Cephas lahir pada 15 Januari 1845 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah Christina Petronella Steven (siapa). Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah sekitar 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik.

Publikasi luas foto-foto Cephas mulai pada tahun 1888 ketika ia membantu membuat foto-foto untuk buku karya Isaac Groneman, seorang dokter yang banyak membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa, yang berjudul: In den Kedaton te Jogjakarta. Pada buku karya Groneman yang lain: De Garebeg’s te Ngajogjakarta, karya-karya foto Cephas juga ada disitu.
Dengan kamera barunya yang bisa dipakai untuk membuat “photographe instanee”, Cephas mulai menjual karya-karya fotonya. Sejak itu karya-karyanya mulai dikenal dan dipakai sebagai suvenir atau oleh-oleh bagi para masyarakat elit Belanda ketika mereka akan pergi ke luar kota atau ke Eropa. Misalnya ketika JM. Pijnaker Hordijk, leaseholder and prominent freemason, akan meninggalkan Yogya, ia diberi hadiah album indah berisi kompilasi karya-karya foto Cephas dengan cover indah yang dilukis oleh Cephas sendiri dan bertuliskan “Souvenir von Jogjakarta”. Album-album semacam itu yang berisi foto-foto sultan dan keluarganya juga kerap diberikan sebagai hadiah untuk pejabat pemerintahan seperti residen dan asisten residen. Keadaan seperti ini tentunya membuat Cephas dikenal luas masyarakat kelas tinggi, dan memberinya keleluasaan bergaul di lingkungan mereka.

Cephas mulai bekerja sebagai fotografer kraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono VII. Karena kedekatannya dengan pihak kraton maka ia bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di kraton semisal tari-tarian untuk kepentingan buku karya Groneman.
Cephas juga membantu pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan jaman Hindu-Jawa yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan yang dilakukan oleh Archaeologische Vereeniging atau Archeological Union di Yogyakarta. Proyek ini berlangsung tahun 1889-1890. Dalam bekerja, Kassian Cephas banyak dibantu Sem, anak laki-lakinya yang paling tertarik pada dunia fotografi seperti ayahnya. Kassian Cephas memotret sementara Sem menggambar profil bangunannya.

Ia juga membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi Candi Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas untuk penggalian ini. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9000 gulden untuk penelitian ini. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya. Cephas mengantongi 3000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian). Jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu. Bahkan tiket nonton di Bioskop Al Hambra (sekarang Bioskop Indra), bioskop termahal waktu itu, pada tahun 1946 pun hanya 5 gulden yang waktu itu setara 2-3 kilogram beras. Pada bulan Maret 1946, harga tiket Al Hambra naik jadi 10 gulden. Tapi masih tetap sedikit dibanding dengan gaji Cephas.
Cephas adalah pribumi satu-satunya yang berhasil menguasai alat peradaban modern, itu juga yang membuatnya diakui di kalangan golongan masyarakat kelas tinggi. Buktinya ia bisa menjadi anggota istimewa “Batavian Society” yang terkenal itu. Tahun 1896 ia dinominasikan menjadi anggota KITLV (Royal Institute of Linguistics and Anthropology) atas dedikasinya memotret untuk penelitian Archaeological Union. Ia benar-benar diterima menjadi anggota KITLV pada tanggal 15 Juni 1896. Ketika Raja Chulangkorn dari Thailand berkunjung ke Yogya tahun 1896, ia mendapat hadiah berupa tiga buah kancing permata. Bahkan Ratu Wilhelmina memberi penghargaan berupa medali emas Orange-nassau kepada Cephas pada tahun 1901.
Cephas sendiri sudah sejak tahun 1888 memulai prosedur untuk mendapatkan status “gelijkgesteld met europeanen” atau “equivalent to Europeans” (sama dengan orang Eropa) untuk dirinya sendiri dan anak-anak laki-lakinya: Sem dan Fares.
Dunia Kassian Cephas memang dunia yang indah bagi ukuran orang pribumi. Waktu itu penjajahan sudah berjalan hampir 300 tahun. Orang Belanda sudah menjadi seperti bagian sehari-hari bangsa Jawa, bangsanya Kassian Cephas. Dan Cephas termasuk sedikit orang yang persis berada di tengah-tengahnya. Menikmati seluruh keistimewaan pergaulan sosial dan penghargaan dari masyarakat elit Eropa di Yogyakarta. Mungkin itu sebabnya kenapa karya-karya foto Cephas berisi suasana yang menyenangkan dan indah. Bukan lantaran ia adalah fotografer sultan dan juga bukan karena ia diminta untuk membuat foto-foto seperti itu oleh pemesan fotonya. Tapi mungkin karena “world view” Kassian Cephas sendiri memang indah, dunia sehari-harinya indah dan menyenangkan, maka lensa kameranya pun hanya mampu meneropong suasana yang indah.
Versi Bahasa Inggris artikel ini dimuat di The Jakarta Post, 24 Juni 1999 dengan judul “Classic Photographer Cephas Presents Beautiful Past”.

Organisasi Foto Indonesia

Tidak ada catatan tertulis yang mengatakan dengan tepat berapa jumlah Klub Foto Amatir di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 hingga terbentuknya:

1G A P E R F I

Merupakan singkatan dari Gabungan Perhimpunan Seni Foto Indonesia, didirikan pada tahun 1953 dengan ketuanyaMayor R.M. Soelarko.

GAPERFI  adalah sebuah perhimpunan dari berbagai Klub Foto pada awal berdirinya di tahun 1953, memiliki anggota 7 Klub Foto. Pada tahun 1956 jumlahnya telah membengkak menjadi 13 Klub Foto yang berasal dari seluruh Indonesia.

Tanpa menemui halangan yang berarti, GAPERFI yang telah berhasil melakukan dua kali kongres pada tanggal 28 – 30 Oktober tahun 1955 di Semarang dan pada bulan Juli 1956 di Bandung, adalah murni merupakan gabungan dari seluruh perkumpulan atau klub foto di seluruh Indonesia.

Dalam usianya yang sangat singkat (1953-1957) GAPERFI sempat mengukirkan saat-saat bersejarah dan indah dalam dunia fotografi di tanah air kita, yaitu dengan mengadakan “Salon Foto Indonesia I” pada tahun 1956, atau yang dikenal dengan nama 1st International Photosalon of Indonesia. GAPERFI juga sempat menerbitkan majalahnya yang bernama “KAMERA” – Madjalah Untuk Penggemar Foto – yang mana telah terbit untuk pertama kalinya pada bulan Februari 1956. KAMERA adalah majalah “bulanan” foto pertama di Indonesia. Sayang hanya sanggup terbit sekali saja.

2. PAF BANDUNG

Sejarah Fotografi Indonesia mencatat bahwa Persatuan Amatir Foto (PAF) Bandung yang lahir pada jaman penjajahan kolonial Belanda yang berdiri pada tanggal 15 Februari 1924, jauh sebelum Perang Dunia II,  adalah sebuah Klub Foto Amatir pertama dan tertua di Indonesia. PAF menjadi anggota GAPERFI pada tahun 1954.

Pada tahun 1967 PAF menerbitkan buletinnya yang dikenal dengan nama “Bulletin PAF”, dicetak dalam bentuk stensilan. Diterbitkan guna memenuhi kebutuhan anggotanya akan informasi dan pengetahuan tentang fotografi.

Dalam sejarah Fotografi di tanah air, PAF Bandung mempunyai peran utama sebagai pencetus gagasan dan motor penggerak yang akhirnya melahirkan “FPSI” pada tahun 1973.

3. L F C N

Disamping PAF Bandung, ada lagi sebuah Klub Foto yang juga tergolong tua (nomor 2) di tanah air kita, yaitu Lembaga Fotografi Candra Naya (LFCN) yang didirikan pada tahun 1948 – saat itu bernama “Sin Ming Hui”. Klub Foto Candra Naya (dh.Tjandra Naja) merupakan salah satu bagian kegiatan dari sebuah Lembaga yang bergerak dalam berbagai bidang pendidikan dan sosial

Kelak di kemudian hari LFCN bersama-sama dengan PAF Bandung dan berbagai Klub Foto lainnya akan turut meletakkan tonggak yang bersejarah dalam pendirian sebuah Federasi Foto Nasional di Indonesia yang kemudian bergabung ke Dunia Fotografi Internasional.

Pada perkembangannya, Club Foto Candra Naya lah yang bertahan sampai sekarang..

4. MAJALAH FOTO INDONESIA (FI)

Dari sebuah gudang pribadi tempat penyimpanan arsip lama dan buku-buku tua, baru-baru ini diketemukan majalah foto terbitan tahun 1934 dengan nama “De Indische Foto Wereld”. Terjemahan bebasnya kira-kira adalah Dunia Foto Indonesia.

Majalah foto yang dicetak prima dan menggunakan sampul depan itu memuat tulisan dan foto-foto Indonesia  tempo doeloe. Dimana pada saat itu telah terbit dalam 2 bahasa, yaitu Belanda dan Melayu. Ini adalah majalah fotografi tertua di Indonesia. Selanjutnya setelah lama tidak ada kabarnya, pada tahun 1956 terbit majalah foto KAMERA keluaran GAPERFI yang hanya terbit sekali saja.

Kemudian terjadi kekosongan dalam dunia penerbitan majalah foto hingga akhirnya lahirlah majalah “FOTO INDONESIA” (FI) yang terbit perdana pada bulan Februari tahun 1969 – satu-satunya di Asia Tenggara pada masa itu.

Foto Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan patut mendapat tempat terhormat dalam Sejarah Foto di Indonesia karena peran dan posisinya yang sangat strategis dalam penulisan foto, dan juga meliput  pemberitaan berbagai peristiwa foto di Indonesia dan dunia. Sejalan dengan misi dan tujuannya sebagai media informasi foto nasional satu-satunya di masa itu, Foto Indonesia berusaha mengembangkan berbagai penulisan yang bermutu tinggi dalam hal teknis foto, sejarah foto dan juga berbagai catatan kejadian foto.

Foto Indonesia secara “tidak sengaja” telah turut mempromosikan berbagai tokoh dan calon tokoh foto Indonesia untuk waktu itu, dan kemudian hari. Bahkan pernah mengusulkan pembentukan Indonesia Photographic Societybeberapa tahun sebelum lahirnya FPSI.

Sangat disayangkan bahwa Foto Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi terhadap dunia foto di tanah air ini akhirnya harus berhenti terbit pada tahun 1986, dikarenakan berbagai masalah intern, maupun ekstern yang tidak terhindarkan. Sementara mantan Pemimpin Redaksi dan beberapa penulisnya tetap aktif berkarya dalam berbagai penulisan dan kegiatan foto di media informasi dan cetak nasional maupun di penjurian pameran ataupun lomba foto.

Masa-masa Bertahan Hidup

Setelah GAPERFI memudar dan akhirnya hilang perlahan-lahan, maka kegiatan dunia fotografi di tanah air seolah hidup segan mati pun tidak mau. Suasana politik dan ekonomi dalam negeri yang tidak stabil pada masa itu (1956 – 1966), seolah membuat kegiatan masyarakat foto nasional nyaris lumpuh. Tidak ada kegiatan lomba maupun pameran foto yang berarti atau pantas dicatat selama kurun waktu itu.

Prof.DR.R.M.Soelarko dalam tulisannya di Bulletin PAF nomor 57-1973 – Siap Menghadapi Salonfoto dan Kongres Fotografi – mengatakan bahwa tahun-tahun setelah GAPERFI -1956-1966 – adalah masa-masa survival. Beruntunglah setelah tahun 1966 keadaan berangsur-angsur pulih dan kegiatan dunia foto nasional mulai menggeliat kembali. Setelah berhasil melewati masa-masa sulit, akhirnya mereka dapat menghasilkan beberapa kegiatan, dimana diantaranya adalah sebagai berikut :

–          Pada tahun 1967 PAF Bandung menerbitkan Buletin-nya (stensilan) yang pertama.

–          Kemudian disusul dengan terbitnya Majalah Foto Indonesia (FI) pada bulan Februari tahun 1969.

–          Sementara itu berbagai Klub Foto mulai memperlihatkan kegiatannya yang positif dan menggembirakan.

Sedemikian rupa keadaannya, sehingga kebutuhan akan adanya suatu Wahana Foto Nasional mendesak untuk segera diwujudkan.

5. PEMBENTUKAN SEKRETARIAT BERSAMA (SB)

Pada tahun 1970-an sekelompok penggemar fotografi yang memiliki idealisme dan kepedulian tinggi terhadap perkembangan dunia fotografi di tanah air, telah melahirkan gagasan untuk membentuk suatu wahana yang dapat mengakomodasikan seluruh kegiatan foto di tanah air. Tujuannya tidak sekedar untuk penyaluran hobi atau berekreasi saja, tetapi lebih dilandasi pemikiran yang berwawasan jauh, luas serta mendalam. Yaitu suatu keinginan untuk menjadikan Fotografi Indonesia, dengan segala dinamika dan romantikanya, menjadi bagian dari Keluarga Foto Internasional sekaligus mengangkat citra Indonesia.

Karena sudah tidak tahan lagi, segera disusun dan dibuat beberapa kali pertemuan. Akhirnya tercapai kesepakatan untuk membentuk sebuah komite yang bersifat sementara dan dinamakan “Sekretariat Bersama” (SB). Dimana tugas SB ini adalah menghubungi dan mendaftar semua Klub Foto yang ada di Indonesia untuk bergabung dan melaksanakan Musyawarah Nasional guna pembentukan sebuah wahana foto nasional.

6.  F P S I

Akhirnya, setelah melalui serangkaian kerja keras, pada tanggal 28-29 Desember 1973 SB yang mengkoordinir perkumpulan-perkumpulan Foto se Indonesia menggelar Musyawah Nasional-nya selama dua hari bertempat di Taman Ismail Marzuki – Jakarta.

Munas yang dihadiri oleh 8 Klub Foto dari seluruh Indonesia itu (sisanya membuat pernyataan mendukung – apapun hasil Munas), akhirnya melahirkan sebuah wahana foto nasional yang bernama Federasi Perkumpulan-perkumpulan Senifoto Indonesia atau disingkat FPSI dalam bahasa Inggrisnya Federation of Photographic Societies Indonesia. Sekaligus mengangkat Ketua-nya yang pertama, yaitu Prof.DR.R.M.Soelarko dan Wakil Ketua A.Muhamad dengan BendaharanyaDjohan Tirtadjaja.

Dengan lahirnya FPSI yang merupakan puncak kegiatan dan prestasinya, otomatis SB yang bersifat sementara dan sudah bekerja maksimal dan optimal selama 2 tahun itu kemudian dibubarkan.

7. SALON FOTO INDONESIA I (1973)

Mendahului terbentuknya FPSI, pada tanggal 27 Desember 1973 telah diadakan Resepsi Pembukaan (dengan penyerahan hadiah-hadiah) Salonfoto Indonesia 1973 oleh Bapak H.Adam Malik – waktu itu Menteri Luar Negeri RI – yang mempunyai kedudukan sebagai Pelindung Salon Foto (tidak untuk umum).

Selanjutnya Salon Foto Indonesia I (1973) berlangsung bersamaan dengan Musyawarah Nasional yang melahirkan FPSI, bertempat di Taman Ismail Marzuki juga (untuk umum). Patut diketahui bahwa koordinator dari penyelenggaraan Salon Foto Indonesia I ini adalah PAF Bandung dan Candranaya Jakarta. Salon Foto Indonesia tahun 1956 yang diselenggarakan oleh GAPERFI – 1st International Photosalon of Indonesia – diakui sebagai Salon Foto Indonesia.

Kemudian dalam kiprahnya, mereka telah sukses menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, diantaranya yaitu:

  1. Munas yang ke XX pada tanggal 27-28 Oktober 2000, yang bertempat di Klaten.
  2. Mempersiapkan Salon Foto Indonesia ke XXI, yang mana akan dilangsungkan di Bandung dengan tuan rumah PAF Bandung sebagai Pelaksananya.

Bergabungnya FPSI dengan FIAP

FIAP singkatan dari Federation Internationale de L’Art Photographique.

FIAP merupakan Induk Organisasi dari berbagai Federasi dan Perkumpulan Foto Nasional yang ada pada setiap negara anggotanya dan secara teratur mengadakan kegiatan-kegiatan foto antar negara-negara anggotanya. Sebelumnya, bersamaan dengan dibentuknya SB, disusun pula rencana untuk bergabung dengan FIAP – yang segera direalisir begitu FPSI terbentuk.

Untuk merintis keanggotaan di FIAP, Ketua SB Prof.DR.R.M.Soelarko memerlukan waktu lebih dari 2 tahun mengadakan kegiatan surat menyurat dengan Ketua FIAP, Mr.van de Wijer. Akhirnya pada saat terbentuknya, FPSI langsung menjadi anggota FIAP yang berarti Fotografi Indonesia telah menjadi bagian dari Keluarga Foto Dunia yang diakui secara Internasional.

Posted in Pengetahuan | 1 Comment

Hello world!

Welcome to WordPress.com! This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.

Happy blogging!

Posted in Uncategorized | 1 Comment